Hadirnya dunia digital membuat aktifitas generasi milenial dimanjakan oleh kecepatan informasi dan pertemanan melalui media sosial yang bisa diakses dimanapun dan kapanpun. Sampai-sampai muncul slogan: Internet dalam genggaman. Inilah benar-benar suatu masa yang telah membuktikan terjadinya peluberan informasi bahkan banjir informasi melalui berbagai media. Keterhubungan generasi milenial dengan jejaring internet dalam menerima informasi telah melahirkan sejumlah peluang. Namun juga acap kali diikuti ancaman yang kerap tidak disadari.
Generasi milenial
Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai “Echo Boomers” karena adanya ‘booming’ (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari “baby boom echo” umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.
Karakteristik
Karakteristik Milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi; meskipun pengaruhnya masih diperdebatkan. Masa Resesi Besar (The Great Recession) memiliki dampak yang besar pada generasi ini yang mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan anak muda, dan menimbulkan spekulasi tentang kemungkinan krisis sosial-ekonomi jangka panjang yang merusak generasi ini.
Ciri-ciri lainnya : mudah bosan pada barang yang dibeli, no gadget no life, hobi melakukan pembayaran non cash, suka dengan yang serba cepat dan instan, memilih pengalaman daripada aset, berbeda dalam grup yang satu dengan yang lainnya, jago multitasking, kritis terhadap fenomena sosial, dikit-dikit posting, tapi bagi milenial ‘sharing is cool’
Penetrasi internet di Indonesia boleh dikatakan sangat luar biasa. Pasalnya, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016, lebih dari separuh total penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Tepatnya 132,7 juta orang terkoneksi internet dari total 256,2 juta penduduk. Hal penting dari hasil survei itu adalah generasi langgas membuktikan diri dengan mendominasi pengguna internet sebesar 42% (APJII, 2016). Generasi langgas diperkenalkan sebagai generasi bebas. Kata langgas diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti bebas atau tidak terikat kepada sesuatu / kepada seseorang. Pengelompokan generasi langgas ini diperuntukkan kepada seseorang yang lahir sekitar tahun 1980-2000 dengan kata lain berusia 16-36 tahun.
Seorang pemerhati media sosial, mengungkapkan generasi langgas cenderung gampang percaya. Mereka seolah beradu cepat dalam mem-posting, menyebarkan informasi atau konten di media sosial tanpa mengkroscek kebenaran konten itu. Hingga akhirnya banyak terjadi hoax. Alhasil, terjadilah konflik sosial di dunia nyata, akibat rendahnya pemahaman generasi langgas dalam mencerna informasi.
Hoax berkembang pesat karena rendahnya literasi media. Terlebih, masyarakat Indonesia bukan masyarakat pembaca, melainkan bangsa ngerumpi. Tanpa memahami secara utuh, informasi langsung disebar, tanpa dicek kebenarannya. Judul berita pun cenderung dianggap kesimpulan karena informasi di dalamnya hanya dibaca sepintas, bahkan kadang tidak dibuka atau diklik tautannya sama sekali. Yose Rizal, Direktur Politica Wave, memperkuat alasan di atas dengan menyatakan bahwa dampak dari rendahnya literasi yakni generasi langgas menganggap segala kabar dari media, bahkan termasuk yang abal-abal, sebagai fakta yang sudah terverifikasi alias valid, padahal bukan.
Selain itu, alasan hoax mudah menyebar karena umumnya sistem pembelian pulsa telepon seluler untuk koneksi data menggunakan sistem prabayar. Sebagian generasi langgas pun enggan memverifikasi ulang dengan membuka link situs informasi yang diterima karena takut pulsanya habis. Ditambah lagi, ada semacam kebanggaan. Jika bisa menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi.
Kondisi rendahnya literasi seperti ini sejalan dengan data pemeringkatan literasi Indonesia. Dua tahun lalu, Kajian Perpustakaan Nasional menyimpulkan minat baca masyarakat Indonesia termasuk kategori rendah. Kajian minat baca yang dilaksanakan di 12 Provinsi dan 28 Kabupaten / Kota di Indonesia pada tahun 2015 tersebut hanya menorehkan angka 25,1. Sedangkan hasil studi yang dilaksanakan Central Conecticut State University, Amerika Serikat, yang diumumkan pada Maret 2016, telah menempatkan Indonesia pada peringkat dua terbawah dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya. Bahkan dalam survei Organisation for Economic Cooperation for International Assessment of Adult Competencies, kemampuan literasi Indonesia yang diwakili Jakarta menunjukkan peringkat terendah dari 34 negara yang diteliti. Kemampuan orang desawa (25-65 tahun) di Jakarta dengan pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA), lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat Eropa berpendidikan sekolah dasar (SD).
Aktivitas generasi langgas dan penyebaran informasi bohong (hoax) merupakan salah satu dinamika yang ada di masyarakat. Baik direncanakan atau tidak, aktivitas keduanya akan tumbuh lebih banyak lagi di sekitar lingkungan perpustakaan. Dimana masyarakat dan perpustakaan memiliki keterkaitan yang strategis.
Tantangan di tengah kondisi saat ini memang membutuhkan kerja cerdas bagi perpustakaan. Manuel Castell (2007) dalam Sugihandari (2017), menekankan bahwa pertarungan utama di generasi langgas adalah memenangi pikiran mereka. Disinilah, perpustakaan memiliki peran dan menyediakan ruang bagi generasi langgas.
Perpustakaan juga merupakan salah satu garda penggerak literasi media dan gerbang informasi dengan pustakawan sebagai pengelola informasinya. Oleh karena itu pustakawan harus dapat menangkap dan melihat informasi serta pengetahuan yang ada di masyarakat. Menurut Brewer, masyarakat dan perpustakaan memiliki keterkaitan yang strategis. Masyarakat merupakan bagian dari kepustakawanan dan pada fenomena ini, peran pustakawan dinilai sangat vital. Maka, pustakawan memiliki peran sebagai penjaga gawang konten media, menciptakan budaya kritis pemustaka, dan memberikan kontribusi nyata.
Perpustakaan tidak mungkin bisa membendung arus media sosial, tetapi bisa membangun budaya yang kritis. Budaya ini kemudian yang membentuk sikap humanis menghargai kemanusiaan. Budaya kritis bisa diciptakan dengan memberikan literasi informasi media kepada generasi langgas. Menciptakan budaya kritis bisa diterapkan dengan mudah dan sederhana. Pustakawan menekankan kepada generasi langgas untuk tidak asal mengunyah informasi yang menghampirinya. Walaupun informasi memang mudah diperoleh, akan tetapi pada waktu yang sama juga memiliki potensi negatif yaitu adanya informasi bohong (hoax). Kemudian pustakawan membiasakan kepada generasi langgas untuk tetap kritis dan skeptis menghadapi serangan informasi. Sehingga mereka akan mencari perimbangan informasi dengan cara melakukan cek dan cek ulang. Alhasil, muncullah sikap untuk menyaring informasi bagi diri sendiri. Generasi langgas juga dapat berperan aktif mencegah hoax. Jika informasi yang diperoleh belum tentu benar, bukan tentang kebaikan, dan bahkan tidak berguna bagi orang lain, maka tidak perlu untuk disebarkan.
Menghadapi penyebaran hoax, perpustakaan dan komunitas anti hoaxrupanya perlu tatap muka dan berdialog bersama generasi langgas. Sehingga bisa bertukar gagasan memilah dan menilai isi informasi yang dapat dipakai untuk berpikir secara kritis. Perpustakaan juga dapat melakukan penguatan budaya literasi dengan menyediakan wadah untuk membentuk komunitas anti hoax atau duta anti hoax. Kita boleh berharap gerakan besar berawal dari sekelompok kecil yang turut andil memberikan contoh nyata kepada khalayak umum untuk bersama memerangi hoax. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan perpustakaan, lantas siapa lagi? Tak ayal, upaya menyelamatkan generasi langgas layak disematkan kepada perpustakaan. *(nad)
Sumber : Kompas, Wikipedia, IDN Times, Kominfo