INFORMATION OVERLOAD DAN LITERASI KRITIS DI MASYARAKAT

Perkembangan teknologi informasi saat ini dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai sumber, namun di sisi lain akibat dari kemudahan tersebut masyarakat berpotensi untuk mengalami information overload atau kelebihan informasi. Edmund (2000) menggambarkan fenomena keberlimpahan informasi atau information overload sebagai titik dimana seseorang memiliki begitu banyak informasi sehingga menyebabkan informasi yang dimiliki tersebut tidak lagi efektif untuk digunakan sebagai penunjang kebutuhan. Kepemilikan informasi yang diharapkan dapat menjadi solusi, justru mengakibatkan permasalahan baru seperti stres dan kebingungan di lingkungan personal.

Information overload ini contohnya seperti yang terjadi ketika fenomena Corona Virus Disease (COVID-19) muncul. Begitu banyak informasi yang diterima oleh masyarakat dan tidak semua informasi tersebut terkonfirmasi kebenarannya. Akibatnya masyarakat kesulitan untuk membedakan berita bohong (hoaks) dan fakta terpercaya. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya preventif untuk menanggulangi penyebaran hoaks dengan mengkonfirmasi melalui website Kominfo apabila berita tersebut adalah hoaks. Misalnya berita mengenai penyembuhan virus corona dengan bawang putih, Kominfo memaparkan fakta untuk mengkonfirmasi bahwa berita tersebut adalah hoaks. Fakta tersebut bersumber dari pernyataan ahli vaksin OMNI Hospitals Pulomas dr Dirga Sakti Rambe, SpPD dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan dr. Wiendra Waworuntu yang menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada obat atau vaksin yang teruji dapat menghalau virus corona.

Walau upaya preventif telah dilakukan oleh Kominfo, namun upaya ini tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa dibarengi oleh kemampuan literasi kritis yang dimiliki oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Rahadi (2017) mengungkapkan bahwa 46 responden dari 122 responden membagikan informasi yang ada di media sosial tanpa melakukan pemeriksaan ulang akan kebenaran informasi yang di terima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pengguna sosial media memiliki kemampuan literasi kritis. Literasi kritis merupakan sebuah cara yang digunakan untuk memahami sebuah teks dengan lebih bijak, sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Kemampuan literasi kritis tentu saja bukan hanya kemampuan untuk mencari dan membaca beragam informasi, namun lebih jauh juga untuk memahami teks dengan melihat dari berbagai sudut pandang, sehingga dapat menganalisis kebenaran dari suatu berita dan mengambil tindakan untuk tidak menyebarluaskan apabila berita tersebut dinilai sebagai hoaks.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan literasi kritis masyarakat adalah dengan memberikan edukasi untuk melakukan konfirmasi terhadap berita yang dibaca dengan mencari informasi lain dari sumber yang berbeda dan terpercaya. Selain itu sikap tidak mudah percaya (skeptis) juga patut dimiliki oleh setiap individu sehingga selalu mempertanyakan kebenaran dari suatu berita dan akan mempertimbangkan sebelum menyebarkan berita-berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya. (Lilis Rusmiawati)

Daftar Pustaka :

  • Cheu-Jey Lee and Runyan, Becky. 2011. “From Apprehension to Critical Literacy”. The Journal of Educational Thought (JET) 2011, Vol. 45, No. 1, pp. 87-106.
  • Edmunds, Angela dan Anne Morris. 2000. “The Problem of Information Overload in Business Organitations: a Review of the Literature”. International Journal of Information Management, Vol. 20, pp. 19-27.
  • Rahadi, Dedi Rianto. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 5, No. 1 2007.
  • www.kominfo.go.id

Leave a Comment