Rabu tanggal 15 Mei tahun 2014 yang lalu kami bertiga, saya bersama pak Bowo Hendiyanto dan mas Subiarto melakukan perjalanan ke Desa Wonokitri di kawasan Bromo Tengger sebelah barat. Harapan kami, di kawasan pegunungan ini menggali informasi tentang kearifan-kearsifan budaya lokal sebagai bagian kekayaan khasanag arsip dan budaya bangsa Indonesia.
Perjalanan kami melewati jalur yang sangat menantang dengan melewati pasuruan, nongko jajar, tutur, wonokitri dengan mobil operasional kantor dan bermalam langsung di kawasan masyarakat Bromo Tengger. Kami menginap di sebuah Home stay sebelah pendopo agung desa wonokitri, sebuah rumah penginapan yang cukup nyaman, dua kamar tidur, satu kamar mandi air panas. Sebelum bermalam rombongan tim mampir dulu untuk ijin (kulonuwun) ke Kecamatan Tosari untuk menyampaikan maksud kedatangan kami ke desa wonokitri.
Setelah mendapatkan informasi tentang desa wonokitri serta gambaran social budayanya kami langsung meluncur ke lokasi, tak lupa minta stempel SPPD di kecamatan tersebut untuk pertanggung jawaban. Sesampainya di desa wonokitri kami langsung ke kantor desa dan ditemui oleh kepala desa wonokitri ibu Aidarmiwati, yang merupakan Kades pertama wanita Suku Tengger, kamipun langsung menyampaikan maksud kedatangan kami ke wilayah wonokitri untuk melakukan wawancara dan penelitian sosial dan budaya masyarakat “suku tengger”.
Akhirnya kamipun sepakat kalau saat itu juga langsung dilakukan wawancara dengan ibu Aidarmiwati dan Pak Supayadi dukun desa wonokitri dan ditambah seorang (lupa namanya) kaur desa wonokitri yang juga merupakan tokoh adat desa wonokitri. Disela-sela wawancara Bu Aidarmiwati menceritakan untuk menjadi kepala desa tidak seperti kepala desa di daerah lain yang mendapatkan tanah bengkok atau gaji. Kepala Desa Wonokitri hanya menerima tunjangan perangkat desa sebesar Rp1 juta per bulan. Banyak persyaratan yang diperlukan untuk menjadi seorang kades di wonokitri selain mampu menjadi kepala pemerintahan di desa, juga mampu menjadi tokoh adat yang mempunyai tugas untuk terus melestarikannya. “Kepala Desa juga harus mampu mengurusi, mulai ritual yang sifatnya pribadi, hingga ritual adat yang secara umum atau massal,” katanya.
Banyak pelajaran yang kami dapatkan selama wawancara dengan tokoh masyarakat desa wonokitri, kearifan-kearifan lokal yang sangat kental yang mengajarkan budaya dan nilai-nilai luhur berbudaya dan bermasyarakat sangat kental terasa di semua sendi kehidupan masyarakat desa tosari dan hal ini menjadi tameng / benteng dari gempuran – gempuran budaya luar.
Selesai wawancara dan penelitian, kami langsung mencari penginapan, dan kebetulan mendapatkan referensi dari pak dukun untuk menginap di sebuah home stay di dekat pendopo agung, dan kamipun diantar oleh pak duku langsung ke home stay, dalam perjalan menuju penginapan berkali-kali kami berhenti untuk mengabadikan dan mendokumentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat wonokitri.
Kamipun langsung ke penginapan, setelah mendapatkan kamar kami tidak langsung istirahat namun masih tertantang dan tergoda untuk keliling desa untuk mendokumentasikan kehidupan masyarakat. Gotong royong, guyub rukun dan tanpa pamrih, mewarnai kehidupan sehari-hari warga Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Apalagi ketika mereka punya hajat, seperti entas-entas. Warga Suku Tengger yang terletak di brang kulon (sisi barat) Gunung Bromo (Pasuruan) itu masih kuat memegang tradisi dan warisan nenek moyangnya. Tak heran saat ada yang memiliki gawe, maka tetangga sekitar bahkan warga sekampung urun tenaga, pikiran bahkan urun biaya.
Selesai keliling desa kami kembali ke penginapan untuk istirahat, pada saat di penginapan kami ditawari untuk naik ke penanjakan, biaya naik jeep Rp. 350 ribu dan kalau naik ojek 75 ribu per orang. Kamipun sepakat naik ojek dan kami tawar untuk sepeda 3 orang seharga 200 ribu.
Bermalam di kawasan pegunungan yang suasana sunyi dan dingin sekali, membuat kami sulit memejamkan mata, tapi akhirnya kami tertidur juga biarpun hanyak sebentar. Sekitar pukul 02.00 dinihari jalanan sudah ramai, kebetulan besoknya tanggal merah, banyak rombongan wisatawan yang akan naik ke penanjakan dan melewati wonokitri ngepos dulu di parkiran pendopo agung. Setelah pukul 03.00 wib kamipun dibangunkan oleh rombongan ojeg yang akan mengantar kami ke penanjakan (sore sudah boking).
Selesai menikmati matahari terbit, dari penajakan sekitar pukul 06.00 kamipun turun ke desa wonokitri. Pagi hari berkabut, tetapi kami melihat masyarakat Tengger sudah beraktivitas, ada yang ke ladang atau kebun, ke tempat pemujaan, dan ada yang ke pasar. Nah yang menarik perhatian kami adalah aktifitas di pasar Wonokitri selesai foto san foto sini kami tertarik pada seorang bapak tua yang berjualan mirip buah-buahan mirip tomat, warnanya, bentuknya agak lonjong dan ternyata adalah Lombok, orang wonokitri menyebut (Lombok tomat) dan kamipun mencoba membelinya untuk dibuat oleh-oleh. Kebanyakan masyarakat penjual dan pembeli menggunakan sarung dengan aneka motif yang diikatkan di leher mereka. Sarung tampaknya digunakan sebagai layangnya syal di bagian punggung untuk menahan hawa dingin. Orang yang berjalan dan menaiki motor semuanya memakai sarung dengan cara seperti itu, sehingga tampak motif sarung dari belakang dengan jelas dan bagi orang yang mengerti motif batik bisa menebak, motif-motif tersebut. Ada motif madura, motif pekalongan, motif lasem, motif yogya, motif surakarta, motif songket bali dan lain-lainnya. Puas dari pasar kamipun langsung turun untuk kembali ke Surabaya, karena tugas sudah selesai. Sda.st.