Membicarakan transportasi di Kota Surabaya pada zaman Hindia Belanda (1800-1942) sesungguhnya juga mengungkapkan perkembangan kota ini tatkala menapaki perubahan dari kota tradisional menjadi kota modern. Namun demikian perlu disadari bahwa pengadaan transportasi modern oleh pemerintah kolonial Belanda itu bukanlah satu-satunya sebagai faktor determinat yang menyebabkan perkembangan kota Surabaya, melainkan peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Timur utamanya yang saat itu pihak pemerintah kolonial Belanda tengah menikmati masa keemasan setelah dilaksanakannya kultuur stelsel (1830-1870) dan Opendeur Policy (1871- dstnya). Faktor eksternalnya ialah pada periode yang sama terjadinya revolusi industri yang di Eropa mencapai klimaksnya pada pertengahan abad XIX. Apabila di Eropa dan Amerika Serikat kejadian itu ditandai dengan proses industrialisasi besar-besaran dengan imperialisme modern sebagai puncak. Dalam konteks perkembangan itulah tanah jajahan berfungsi sebagai pasar produk-produk industri, sumber bahan mentah, dan tempat penanaman modal. Dalam kerangka itulah kemudian dilakukan modernisasi di Hindia Belanda sebagai tanah jajahan Belanda, kemudian pihak negeri induk juga melakukan relokasi industri baik secara teknologis, komersial- kapital maupun pemasaran. Dengan demikian Indonesia menjadi terlibat langsung dalam proses produksi dunia.
Di Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia perkembangan itu ditandai dengan dibukanya perkebunan-perkebunan besar yang modern (plantation) seperti kebun/pabrik gula khususnya di Jawa Timur; perkebunan tanaman keras, kopi, teh, cokelat, kina di Jawa Timur dan Jawa Barat, karet di Sumatra; pertambangan minyak di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Irian Barat; timah di Bangka-Belitung, dan lain-lainnya. Khusus bagi perkebunan dan pabrik-pabrik besar maka untuk mengangkut produk-produknya sarana transportasi tradisional yang ada saat itu seperti gerobak (Jw.cikar), sado, kuda beban, perahu layar, sampan, tongkang dll. menjadi tidak memadai lagi. Bertepatan dengan itu di Eropah juga menapaki fase-fase akhir revolusi industri. Dengan sendirinya untuk kepentingan pengangkutan kekayaan dari tanah jajahan ke negeri induk atau ke negeri-negeri tujuan ekspor/impor kemudian terjadilah transfer of technology. Dalam hal ini selain Belanda membangun teknologi agroindustri juga untuk kepentingan agronomi perlu diselenggarakan sarana-prasarananya yaitu transportasi. Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan teknologi transportasi itu juga membawa dampak lain di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam perjalanan sejarah Indonesia. Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya pada masa Hindia Belanda (1800-1942) di bawah ini dijelaskan secara singkat perkembangan kota Surabaya terutama yang berkaitan dengan penyelenggaran sarana perhubungannya. |
|||
B. MUNCULNYA SURABAYA DALAM SEJARAH | |||
Nama Surabaya secara eksplisit muncul pada prasasti Trowulan II yang juga dikenal sebagai ferry charter (1358). Disebut sebagai ferry charter atau piagam penambangan karena di dalam prasasti itu nama Surabaya muncul nama-nama tua lain di Surabaya seperti Bukul, Gesang, Cangkir dan 40 desa penambangan naditira pradeca lain di sepanjang muara Brantas (16 desa) dan di sepanjang aliran Bengawan Solo (40 desa), antara lain Widang, Plumpang dan Semanggi (Solo). Drs. Heru Sukadri K. di dalam karyanya Dari Hujunggaluh ke Curabhaya menyatakan kata Surabaya yang berarti atau terdiri dari ikan Sura dan Baya (buaya) merupakan pemitosan dari pertempuran bersejarah antara pasukan R. Wijaya dan dengan pasukan Cina yang dipimpin oleh Ikimese, Shih Pi dan Kau Hsing yang berakhir dengan kekalahan Cina pada 31 Mei 1293. Adanya piagam di atas membuktikan bahwa Surabaya secara geografis, selain terletak di muara Brantas juga sebagai delta dengan banyak anak sungai atau kali. Misalnya: kali Greges, kali Butuh, kali Anak, kali Krembangan, kali Mas, kali Pegirian, kali Anda, kali Palaca, kali Bokor, kali Pacekan dengan kedung-kedungnya (Ind. palung) antara lain kedung Tarukan, kedung Sari, kedung Doro, kedung Rukem, kedung Sroko, kedung Cowek, kedung Baruk, kedung Asem, kedung Turi, dll. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masalah transportasi merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat vital sehubungan dengan kondisi geografis kota sehingga memerlukan perhatian kerajaan atau negara sebagaimana tercantum di dalam prasasti bertarikh 1358 itu. Berdasarkan toponimi pasar-pasar tradisional di Surabaya mulai dari hulu Brantas sampai muaranya seperti pasar-pasar: Sepanjang, Kedurus, Wonokromo, Keputran, Genteng, Pasar Gede (Pasar Besar), Pabean, Petekan maka jelaslah bahwa sungai, dalam hal ini Sungai Brantas merupakan sarana perhubungan sangat vital di Surabaya. |
|||
C. PERKEMBANGAN KOTA SURABAYA PADA ZAMAN KOLONIAL | |||
Apabila secara topografis lokasi pantai karena sedimentasinya tinggi hingga garis pantai Surabaya terus-menerus mengalami pergeseran ke utara. Garis pantai itu pada abad IX Dadungan, Banyuurip maka pada abad XIV garis pantai itu telah bergeser ke utara dari Asemrawa, Tanjung Anom, Genteng, Sima, dan pada abad XV telah mencapai Nyamplungan-Sukodono. Berlawanan dengan perkembangan topografis maka perkembangan kota secara sosial, budaya dan ekonomi justru mulai dari arah utara. Pemberitaan tentang keberadaan Surabaya memang telah muncul pada abad XIV baik pada prasasti Trawulan I maupun di dalam Nagarakrtagama (1365).Bila demikian Surabaya yang mendapat sima itu berada di muara atau delta yang berada di sebelah barat Genteng, garis pantai abad XIV. Akan tetapi bagaimana deskripsi Surabaya belum ada. Berdasarkan sumber-sumber tradisional babad pada awal abad XV Surabaya menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa dengan di bawah pimpinan Raden Rahmat yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ampel. Saat itu Ampel merupakan lokasi berada di pantai atau delta Kali Surabaya (Kali Mas) dan Kali Pegirian. Kita harus kecewa karena deksripsi Surabaya sebagai suatu kota belum kita jumpai. Deskripsi sederhana kemudian tercantum di dalam laporan Ying Yhai Seng Lan (Pelayaran di Laut Selatan) yang ditulis oleh Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng Ho. Bersama-sama dengan Gresik, Surabaya merupakan kota pelabuhan (sungai) yang sebagian besar penduduknya adalah orang Cina berjumlah sekitar 7.000 jiwa. Waktu itu yang menjadi pusat bisnis/perdagangan Surabaya (central district bisniss) ialah Pasar Pabean, Jl. Panggung dan Jl. Karet yang pada zaman Belanda disebut sebagai Chinesche voorstraat. Berdasarkan deskripsi dari peta kuno Surabaya pada abad XVI-XVII Surabaya telah menjadi kota dagang dan pelabuhan sungai yang menyaingi Gresik. Di Surabaya juga bermukim berbagai kelompok etnis yang bermukim di sepanjang muara Brantas. Etinisitas mereka kemudian juga digunakan sebagai nama kampung pemukimannya seperti : kampung Arab (Apel), Melayu (selatannya), Cina (bagian barat dan selatan), kemudian Belanda (di Rode Brug) atau Jembatan Merah. Dalam Perang Trunajaya (1677-1680) Surabaya merupakan pangkalan dengan benteng pertahanannya di sepanjang Kali Pegirian. Trunajaya menempati Surabaya mulai Oktober 1666 sampai armada Belanda di bawah Laksamana Cornelis Speelman berhasil merebutnya hingga Pangeran dari Madura itu terpaksa menyingkir ke Kediri. Pemberitaan Surabaya selanjutnya diperoleh dari Francois Valentijn yang di sekitar tahun 1706 mengunjungi Surabaya. Ia di dalam karyanya Oud en Nieuw in Oost Indie Deel IV mengatakan bahwa keraton Surabaya berada di tepi sungai dengan jalannya yang lebar dan indah. Berdasarkan perjanjian Mataram-VOC tahun 1743 seluruh wilayah pesisir utara Jawa jatuh ke tangan Belanda, termasuk Surabaya. VOC kemudian mendirikan pusat pemerintahannya di kota benteng Jembatan Merah atau Rode Brug sebagai pemukiman khusus Belanda. Komunitas Cina yang semula berpusat di sepanjang Jl. Panggung dan Jl. Karet (Chinesche voorstraat) sebagai CDB kemudian memperluas pemukimannya di Kembang Jepun, yang jalannya dihubungkan dengan Rode Brug. Pada tahun 1796 penguasa VOC (gezaghebber) di Surabaya Dik van Hogendorp mendirikan kediaman di Simpang dengan menghadap ke Kali Mas sebagai Residence Wooning (kediaman Residen) yang kemudian dikenal sebagai gedung Grahadi. Taman gedung ini (tuinhuis) terletak di belakang kemudian dikenal sebagai Taman Apsari. Gedokan kudanyas kemudian dimanfaatkan sebagai SDN Kaliasin III,dan gudangnya kemudian menjadi gedung Kantor Pos Simpang. Selama kultuur stelsel Surabaya tidak banyak mengalami perkembangan, justru pada era sesudahnya yaitu era opendeur policy (1871) Surabaya mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini tampaknya disusun blue print pembangunan Kota Surabaya dengan pengerasan berbagai jaringan jalan raya, pembangunan jaringan jalan kereta api yang menghubungkan Surabaya dengan berbagai penjuru kota, pendirian pemukiman baru yang elitis khusus untuk orang Eropa khususnya Belanda seperti Ketabang, Tegalsari dan Darmo dengan berbagai fasilitasnya seperti stasiun, pelabuhan, lapangan terbang dan pangkalan udara, rumah sakit, gedung sekolah dan perkantoran-perkantoran, dan bank. Wilayah Kota Surabaya di selatan mencapai pelintasan kereta api di Wonokromo, di barat dibatasi Reinir Boulevard, Pasaar Kembang Boulevard, Ardjuno Boulevard, Pasarturi straat, Tandjung Perak straat, sedang di sebelah timur dibatasi oleh rel KA mulai dari Wonokromo, Gubeng dan Sidotopo. Jalur-jalur jalan raya terpenting yang kemudian juga menjadi urat nadi lalu lintas atau transportasi di Surabaya pada masa-masa akhir kolonial Hindia Belanda sebagai berikut. |
|||
1. |
Jalur jalan raya yang membujur dari utara – selatan bagian timur yaitu : Jl. Wonokromo, Jl. Ngagel, Gubeng, Signal straat, Kapasari straat, Sidotopo straat.
|
||
2. |
Jalur jalan raya dari arah utara-selatan bagian tengah barat : Wonokromo, Darmo Boulevard, Palmenlaan – Kaliasin straat, Embong Malang, Bubutan, Oost-West Buitenweg, Tanjung Perak straat.
|
||
3. |
Jalur dari utara-selatan tengah timur : Wonokromo, Darmo, Palem laan, Simpang straat, Tunjungan, Gamblongan , Kramatgantung/Baliwert, Societet straat, Heeren straat, Tandjung Perak straat.
|
||
4. |
Jalur dari utara – selatan bagian barat : Wonokromo, Reinierz Boulevard, Pasarkembang, Ardjuno, Pasar Turi, Oosten Buitenweg, Heeren straat, dan Tandjung Perak straat.
|
||
Jalur yang membujur dari arah timur-barat Surabaya antara lain sebagai berikut. | |||
1. | Jalur Kenjeran, Kapasan, Kebang Jepun, Heerens straat, dan Tandjung Perak. | ||
2. | Ngaglik, Kalianyar, Pasar Besar straat, Tembaan straat, Maspati, Pasar Turi | ||
3. | Pacarkeling, Ambengan weg, Plampitan weg/Gentengkali, Praban straat, Kranggan straat, Tembokdukuh straat, dan Sawahan straat. | ||
4. | Gubeng Bagong, Gubeng straat, Simpang straat, Embong Malang, Princess laan, Tidar straat, dan Pacuankuda. | ||
5. | Keputran, Tamarin de laan (Pandegiling), Pasarkembang, Banyuurip. | ||
Suatu pusat kota (Down Town) yang kemudian muncul dalam era pemekaran fisik dan kondisi sosial, ekonomi, budaya di Surabaya yaitu kawasan Tundjungan straat sebagai jantung kehidupan ekonomi di Surabaya pada pertengahan pertaa abad XX. Tidak boleh dilupakan juga munculnya kawasan industri yang membentang sejajar dengan jalur kereta api serta Kali Brantas/Mas sebagai kawasan industri terbentang dari stasiun Wonokromo, Gubeng, Surabaya kota dan Tanjung Perak/Ujung. Inilah perkembangan fisik kota Surabaya sampai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1942. Di dalam konteks perkembangan berbagai fasilitas perkotaan di Surabaya itulah kemudian ditulis kembali bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya yang menggeliat maju dari kota tradisional menuju kota modern. Karya ini oleh Badan Arsip Jawa Timur disusun berdasarkan arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah perhubungan di Kota Surabaya sebagai sumber pimer. Semoga bermanfaat ! Viva & bravo Surabaya ! |
|||
Surabaya, Medio Desember 2007
Aminuddin Kasdi |
BAB I | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TRANSPORTASI DARAT DI SURABAYA | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|