Jakarta, Kompas – Arsiparis atau ahli arsip belum dianggap profesi penting di Indonesia. Tata kelola arsip yang merupakan aset bangsa pun lebih banyak diserahkan kepada orang yang tak mengerti seluk-beluk pengarsipan. Secara umum, dunia kearsipan Tanah Air masih jauh dari perhatian.
Faktanya, penanganan arsip yang tidak benar menyebabkan arsip rusak, terselip, dan tidak terawat, bahkan hilang sebelum sempat dimanfaatkan informasinya.
”Pemerintah beranggapan arsip itu barang tidak berguna sehingga bisa dikelola siapa saja meski orang itu tidak mengetahui ilmu kearsipan,” kata Peneliti Utama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mona Lohanda, di Jakarta, Senin (14/5).
Kearsipan, lanjutnya, merupakan bidang profesional yang membutuhkan tenaga ahli spesialis. Arsip memiliki nilai penting bagi pendidikan, seperti penelitian dan penulisan, terutama yang terkait sejarah.
Akibat tak dikelola ahlinya, publik pun sulit mendapat data dan informasi film. Hal itu contohnya arsip pada Pusat Informasi dan Dokumentasi Perfilman (Sinematek) Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Lintang Gitomartoyo, Asisten Pengembangan Program Restorasi Film Yayasan Konfiden, mengatakan kesulitan mencari film Lewat Djam Malam untuk keperluan restorasi film di Italia. Film ditemukan di tumpukan ratusan judul film dalam kondisi rusak, terkontaminasi karat dari kaleng penyimpanan dan mengandung tingkat keasaman tinggi.
Publik juga sulit mengakses film milik Sinematek karena sebagian belum dialihmediakan. Akibatnya, tak mungkin diputar kembali karena rawan putus.
Hal serupa terjadi di ANRI. Lembaga arsip negara yang menyimpan koleksi 60.000 film dokumenter, tayangan berita televisi, dan film cerita buatan pemerintah ini juga masih mengabaikan penanganan koleksinya. Di ANRI, 5.000 reel (gulungan) tayangan berita TVRI dalam format video BCN yang diproduksi tahun 1970 dibiarkan begitu saja tanpa bisa diakses. ANRI tak punya alat untuk memutarnya.
Mona mengatakan, di beberapa negara, seperti Jerman, Jepang, dan Australia, masih punya alat pemutar video BCN itu. Kalau pemerintah mau, video di ANRI bisa dikirimkan ke negara- negara itu agar informasinya dibaca dan dialihmediakan.
”Saya pernah mendapat tawaran dari teman-teman di Jepang, Jerman, dan Australia untuk membantu alih media tanpa bayaran. Indonesia hanya menanggung biaya pengiriman, tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya,” kata Mona.(IND) sda.st. kompas.com